Subscribe Us

SELAMAT MEMPERINGATI MAULID NABI MUHAMMAD SAW 12 ROBI' AL AWWAL1447 H

Senja di Perlintasan

 

Cerpen

Oleh Hendrika LW

CANTIK DAN BUGAR.COM - Hari itu mentari kembali menunjukkan keakuannya. Kehangatan yang sedari pagi memeluk semesta, berangsur memanas. Memanggang apa saja, tak terkecuali pekerja yang hiruk pikuk mengumpulkan rupiah di alam terbuka.

Tak segan pula ia menyengat tubuh kurus pria paruh baya itu, hingga legam. Sumarto bermandi keringat. Bercucuran. Seperti baru keluar dari kolam renang. Selembar handuk biru kumal, setiap saat mengelap wajah tuanya.

Kendati demikian, ia tak pernah mengeluh apalagi protes kepada alam. Karena ia menyadari betul, bahwa hujan dan panas adalah anugerah Pencipta yang wajib disyukuri.

Maret ini 40 tahun sudah Sumarto menjaga perlintasan kereta, yang terkenal angker itu. Berarti lebih dari separuh hidupnya, ia mengabdi.

Menjaga perlintasan kereta tanpa palang pintu, itulah pekerjaan yang menghidupi keluarganya. Ia berpikir ahwa pekerjaannya adalah amanah, yang harus dijalankan sebaik-baiknya.

Demi para pelintas. Sumarto sering mondar mandir di pinggir perlintasan kereta, lalu duduk lagi di pos sederhana, yang letaknya tak jauh dari situ.

 "Ini panggilan jiwa saya. Menyelamatkan nyawa sesama dari maut si ular besi." katanya dengan nada bahagia.

Meski gaji yang diterimanya hanya cukup untuk keperluan hidup sehari-hari. Namun ia sangat bersyukur karena masih diberi kepercayaan di usianya yang sudah senja.

Pagi ini Sumarto tiba di pos jaga jam setengah enam. Wajahnya tampak pucat. Kurang bersemangat. Tak seperti biasanya, ia selalu datang dengan siulan irama lagu-lagu dangdut yang lagi populer. Sambil berjoget-joget pula. Sardi panjaga shift malam, tampak keheranan melihat perubahan sikapnya.

 "To, tumben kamu datang tanpa dangdutan." tegurnya heran.

 "Entahlah, perasaanku ngak enak. Seperti akan terjadi sesuatu." jawabnya datar.

 "Ya Allah, lindungilah semuanya." ia menghempaskan bawaannya di atas meja kayu, yang sudah usang.

 Ia menatap perlintasan kereta itu, dalam-dalam. Menarik nafas panjang. Seperti ada kedukaan di sana. Ditemani Sardi, Sumarto menyeruput kopi pahit, yang dibekali istrinya dari rumah.

"Waahh, mantap! Kopi bikinan istrimu tiada duanya, To!" puji Sardi pada tegukan terakhir.

Kemudian Sardi pamit pulang, dan tugas selanjutnya diserahkan kepada Sumarto. Ia makin gelisah. Diambilnya tasbih, yang selalu ada di saku bajunya. Tak henti-henti ia mendaraskan doa syukur dan mohon keselamatan untuk semua orang. Dikejutkan oleh aba-aba bahwa kereta akan lewat, ia segera berlari ke pinggir rel.

 "Stop! Ada kereta!" teriaknya kepada pelintas.

Suara pria berambut putih itu terdengar lirih, kalah oleh deru kendaraan yang hilir mudik tak terhitung banyaknya. Peluit dan bendera kecil yang selalu menemani tugasnya, membantu memberi tanda kepada pelintas.

 "Priiittt! Priiitt! Prrriiitttt!"

 Tangan kanannya mengibar-kibarkan bendera kuning agar mereka berhati-hati.

Dikeluarkan lagi bendera merah untuk menghentikan pengendara yang perlintasan kereta . Itu pun ada yang masih 'nyelonong'.

 Kadang Sumarto merasa sangat kesal. Ketika para pengendara itu tak menghiraukan dirinya. Padahal ia berusaha sungguh-sungguh untuk keselamatan mereka.

 "Awas, kereta! Berhenti! Berhenti! Berhentiiiii" pekiknya.

 Ia sampai mengejar motor hijau yang masih terlihat 'gres' itu, untuk membuatnya berhenti.

Perempuan itu tetap melajukan motornya. Tak bisa dihindari. Braakkk! Ia terseret puluhan meter. Entah ke berapa kalinya kejadian seperti itu.

 "Ya Allah, aku sudah berusaha memperingatkan, tapi kenapa terulang lagi?" Ia menyeka matanya.

 Penyesalan Sumarto menumpuk di ruang hening. Melebur dengan kesedihan yang mengalir dari jiwanya. Tapi apa daya, semuanya terjadi di luar kendali. Kepasrahan pada Sang Khalik, membuat hatinya berangsur lega. Waktu terus berganti. Hari-hari kembali dijalani dengan wajar, seperti biasanya. Karena keluarga menunggu rupiah yang dibawanya setiap awal bulan.

Kembali pada rutinitas. Ia berangkat setelah subuh, pulang saat senja merayap ke peraduan. Demi anak istri. Demi asap dapur tetap mengepul. Ia menjalani pekerjaan menjaga  perlintasan kereta dengan senang hati. Sore itu, Sardi belum juga datang untuk menggantikan shiftnya. Sumarto merasa sangat lelah. Ia rebahan di kursi pos, bercat abu-abu itu. Saking lelahnya, dalam hitungan menit dia tertidur pulas. Seorang perempuan cantik menepuk bahunya perlahan.

 "Bangun Pak, sudah waktunya  ulang."

 Sumarto kaget bukan kepalang. Perempuan itu yang terseret kereta tujuh hari lalu. (*)

Baca disini 




Posting Komentar

0 Komentar

MEDIA ONLINE YANG MENYAJIKAN INFORMASI SEPUTAR WANITA YANG MENGINSIPRASI SUPAYA MEMILIKI ENERGI YANG POSITIF